SULSEL, RESTORASITV.COM – Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan kembali menggelar agenda diskusi bulanan bertajuk REFORMING (Ma’REFAT Informal Meeting) pada Minggu, 26 Oktober 2025. Bertempat di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar, pertemuan ke-27 kali ini mengusung tema: “Mempertanyakan Kesaktian Pancasila sebagai Falsafah Negara, Menghadapi Problem Bangsa yang Multidimensional.”
Diskusi yang berlangsung pada pukul 13.30, menghadirkan dua pemantik utama: Akademisi/Dosen FISIP Universitas Hasanuddin, Dr. Hasrullah, MA; serta Direktur Eksekutif & Peneliti Ma’REFAT Institute, Mohammad Muttaqin Azikin.
Dr. Hasrullah membuka pemaparannya dengan kritik terhadap posisi organisasi masyarakat sipil di bawah pemerintahan baru. “Pada masa Presiden Prabowo, peran-peran LSM saat ini sangat dipinggirkan oleh pemerintah. Di mana LSM saat ini sangat dibatasi ruang geraknya dalam memberi pembelaan kepada masyarakat,” ujarnya.
Ia menilai, di tengah keterbatasan ruang gerak itu, media sosial harus difungsikan lebih optimal sebagai alat perjuangan baru. “Media sosial hari ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyampaikan suara-suara yang berpihak pada kebenaran dan keadilan,” kata Hasrullah. Ia menilai platform digital justru bisa menjadi alat pembebasan, bukan sekadar hiburan atau propaganda.
Menurut Dosen Ilmu Komunikasi ini, Lembaga Swadaya Masyarakat bisa menjadi figur yang dapat menyuarakan nilai Pancasila di tengah situasi kenegaraan saat ini. “Langkah ini dapat dilakukan melalui media sosial. Karena media sosial hari ini merupakan salah satu kanal yang dapat menggiring opini masyarakat,” tutup Hasrullah.
Sebagai pembelajar dan peneliti Ma’REFAT Institute, Muttaqin membawa forum pada perenungan yang jarang disentuh di ruang publik: bagaimana Pancasila, yang disebut “sakti” setiap 1 Oktober, justru makin kehilangan daya hidupnya sebagai pandangan hidup dan dasar moral bangsa. Ia mengingatkan, “Pancasila sering hanya jadi mitos, tidak lagi menjadi falsafah yang menuntun praktik kehidupan bernegara.”
Idealnya, Pancasila hadir di dalam praktik kekuasaan negara, menjiwai setiap kebijakan pemerintah, menjadi landasan dalam berbagai interaksi politik, serta menyemangati hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia. Namun sayangnya, praktik kekuasaan menciptakan paradoks hari ini: korupsi yang sistemik, perampasan ruang hidup rakyat, serta pelanggaran HAM yang terus berulang. “Jika pejabat publik terus memperkaya diri dan menindas rakyat, maka sila keadilan sosial kehilangan maknanya,” ujarnya.
Sebagai penanggap, Arifin mengajukan kritik yang lebih struktural. Selama 21 tahun bekerja di birokrasi, ia mengaku tak pernah menemukan kosa kata Pancasila digunakan dalam dokumen perencanaan negara. “Narasi-narasi Pancasila tidak ditemukan dalam proses perencanaan,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana konsep “Profil Pelajar Pancasila” yang digagas Menteri Pendidikan Nadiem Makarim hanya berhenti di level teknis dan sulit diwujudkan dalam kebijakan pendidikan yang konkret dan komprehensif.
Arifin juga menyebut bahwa Pancasila di birokrasi kini direduksi menjadi syarat administratif. “Saya mencari kata Pancasila di dalam pemerintahan, ternyata hanya ditemukan dalam kualifikasi calon pemimpin daerah. Pancasila diturunkan maknanya menjadi sebatas sifat,” ujarnya. Menurutnya, tidak ada narasi Pancasila dalam kebijakan sektor kesehatan, pendidikan, atau tata kelola ekonomi daerah.
“Kita terlalu lama dininabobokkan oleh korupsi pejabat publik,” Hasrullah memberikan tanggapan. Ia menekankan, sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” artinya, bertentangan dengan monopoli kekayaan oleh pejabat publik hari ini, dan juga berarti tidak boleh ada pejabat yang menguasai tambang. Ia menyoroti perlunya mengembalikan semangat Konstitusi UUD 1945. “Penting sekali untuk kita kembalikan pada Pasal 33 bahwa implementasinya pada kepentingan bersama. Pemerintah harus membangun perekonomian berdasarkan pasal ini, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Muttaqin menutup sesi diskusi dengan pernyataan tegas, “Ideologi Pancasila saat ini, tidak bisa kita pungkiri masih dianggap dogma.” Menurutnya, untuk menghindari hal itu Pancasila harus dipahami dengan pendekatan falsafah, sehingga memberikan ruang bagi kita untuk terus mempertanyakan, mengujinya, dan menafsir sesuai dengan konteks yang dihadapi. “Inilah poin penting Pancasila, tidak sekadar sebagai dasar negara, tetapi sebagai sebuah falsafah yang harusnya menjadi pandangan hidup negara,” pungkas Muttaqin.
Diskusi berlangsung riuh, dengan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, dosen, ASN, aktivitis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta.*(rtv_Megasari/Yustus)
