
PASANGKAYU, RESTORASITV.COM – Kasus penyerobotan tanah seluas 24.100 meter persegi milik Merlian Solfian R. di Desa Gunung Sari, Kabupaten Pasangkayu, metal setelah penyidik Polres Pasangkayu mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP)
Untuk diketahui sebelumnya kasus dugaan penyerobotan lahan milik Merlian Solfian R di Desa Gunung Sari dilaporkan sejak 30 Maret 2022, kasus ini ditutup oleh pihak Polres Pasangkayu 29 juli 2025 dengan dalih kurangnya bukti. Padahal, pihak korban telah mengantongi dokumen otentik berupa Akta Jual Beli (AJB) Kepala Desa saat itu, I Nyoman Sukariawan, pada tahun 2017 dan tanah tersebut telah disertifikat pada tahun 2018.
Perkara yang telah berjalan selama tiga tahun ini tak kunjung menemui titik terang, meski pelapor telah menyerahkan dua alat bukti berupa Sertipikat Hak Milik (SHM) dan menghadirkan saksi-saksi fakta. Sebaliknya, pihak terlapor, yang diduga tidak memiliki alas hak yang jelas, tetap mendapat dukungan dari seorang kepala desa yang turut menjadi terlapor dalam kasus ini yang membuat surat Ajb di objek yang sama atas nama I Wayan Kerti pada bulan Oktober 2020.
surat keterangan tanah yang tumpa(ng tindih yang dibuat oleh kepala desa Gunung sari I NYOMAN SUKARIAWAN adalah tindakan yang tidak sah dan bermasalah. ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian data atau informasi mengenai kepemilikan tanah, yang bisa jadi disebabkan oleh kesalahan administrasi atau bahkan indikasi adanya pemalsuan dokumen.
Kepala desa memiliki wewenang untuk menerbitkan surat keterangan tanah sebagai bukti penguasaan fisik tanah. Namun, surat keterangan ini harus berdasarkan data yang valid dan tidak boleh tumpang tindih dengan surat keterangan lain yang sudah ada.
Surat keterangan tanah yang tumpang tindih dapat menimbulkan masalah hukum, termasuk sengketa tanah, bahkan tuntutan pidana jika terbukti ada pemalsuan dokumen.
Pelapor menyampaikan bahwa unsur penyerobotan tanah dalam perkara ini sudah sangat nyata. Namun Setiap kali pelapor mencoba berkoordinasi dengan penyidik, selalu ada alasan yang dicari-cari. Salah satu alasan yang kerap disampaikan adalah belum adanya jadwal floating dari pihak BPN. Ini aneh, karena dalam tiga tahun rasanya mustahil tidak bisa dijadwalkan. Hal ini menunjukkan adanya indikasi ketidakprofesionalan penyidik.
kondisi ini semakin menguatkan dugaan adanya oknum mafia tanah yang terlibat, termasuk di kalangan penyidik.
“Kami menduga ada oknum yang sengaja memperlambat proses hukum serta penghetikan penyedikan dengan alasn tidak cukup bukti.Ketidakadilan seperti ini tidak boleh terus dibiarkan,” tegasnya.
Sebagai bentuk upaya untuk mendorong penegakan hukum yang adil.
Pelapor berharap oknum-oknum mafia tanah dan penyidik yang tidak profesional yang ada di polres Pasangkayu Pasangkayu dapat segera ditindak. Kami terus mendukung langkah tegas pemerintah untuk membersihkan mafia tanah dari negeri ini,” tambahnya.
Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum di Sulawesi Barat untuk membuktikan komitmen mereka dalam memberantas mafia tanah.
Indikasi Kuat Permainan Oknum dan Mafia Tanah
Melambatnya proses penegakan hukum serta penutupan kasus memperkuat dugaan adanya permainan antara oknum aparat penegak hukum dan mafia tanah lokal. Sikap pasif dari institusi terkait, bahkan setelah korban menunjukkan bukti-bukti sah, menunjukkan kemungkinan kuat adanya jaringan mafia yang telah menyusup ke dalam lembaga yang seharusnya melindungi warga.
“Bagaimana mungkin kasus bisa ditutup karena kurang bukti, padahal sertifikat resmi yang diterbitkan oleh Bpn pada tahun 2018 telah kami pegang sejak awal? sedangkan terlapor sebagai penyerobot baru memiliki surat yang di keluarkan oleh kepala desa gunung sari I NYOMAN SUKARIAWAN Pada Oktober 2020.
Ini bukan soal hukum lagi, ini soal keberanian melawan kejahatan terorganisir,” ungkap salah satu kuasa hukum korban.
Kasus seperti ini menjadi indikator jelas bahwa mafia tanah tak hanya bermain di kota besar, tapi juga telah menyusup ke pelosok seperti Kabupaten Pasangkayu, dengan melibatkan oknum aparat desa, BPN, hingga kepolisian.
Potensi Pelanggaran Hukum
Menurut pasal 385 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penyerobotan tanah atau bangunan milik orang lain yang dilakukan tanpa hak dapat dikenakan pidana penjara paling lama empat tahun. Selain itu, dalam Pasal 167 KUHP, memasuki pekarangan orang lain secara melawan hukum juga diancam dengan hukuman pidana.
Namun, pelanggaran-pelanggaran tersebut seolah-olah tidak berlaku dalam kasus ini. Penutupan kasus tanpa kejelasan prosedur menandakan adanya pengabaian asas keadilan dan supremasi hukum.
Dampak Serius: Krisis Kepercayaan Publik
Lambannya penanganan dan keputusan sepihak Polres Pasangkayu tak hanya mencederai rasa keadilan korban, namun juga berdampak serius terhadap citra institusi Polri di mata publik. Jika situasi ini terus dibiarkan, krisis kepercayaan masyarakat terhadap Polres Pasangkayu akan merosot tajam, dan sulit untuk dipulihkan.
“Masyarakat bukan bodoh. Jika penanganan kasus hanya berpihak pada yang punya kuasa dan jaringan, bagaimana bisa kami percaya bahwa hukum ditegakkan secara adil?” ujar warga setempat.
Harapan dan Tuntutan
Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan institusi hukum untuk meninjau kembali kasus-kasus serupa yang terindikasi mandek karena permainan mafia tanah. Publik menuntut agar oknum yang diduga bermain mata dengan mafia tanah ditindak tegas, dan kasus ini dibuka kembali secara transparan, dengan melibatkan pihak independen jika perlu. *(rtv-EL).