restorasitv.com – Konflik Agraria antara perusahaan dan masyarakat di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, rupanya tak kunjung selesai. Konflik batas Hak Guna Usaha milik PT Letawa anak perusahaan Astra group ini, hampir setiap tahun di gugat masyarakat Setempat. Ironinya setelah kasus ini bergulir ke DPRD, 2 Anggota DPRD Kabupaten Pasangkayu nyaris adu jotos karena silang pendapat.
Kejadian ini bermula saat anggota DPRD kabupaten Pasangkayu menerima aspirasi masyarakat Desa Lariang yang meminta PT Letawa untuk melepaskan sejumlah lokasi di desa lariang yang diduga diluar Hak guna Usaha atau HGU PT Letawa. Pada
Sejak awal Rapat Dengar Pendapat atau RDP dilaksanakan, masyarakat dan perusahaan sudah terlibat ketegangan. Situasi ini urung mereda hingga rapat usai.
Argumen dan bantahan cepat berdatangan setelah perwakilan perusahaan dan Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Pasangkayu menyampaikan batas-batas HGU PT Letawa.
Suasana semakin memanas dan memicu reaksi emosional warga takkala Perwakilan Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Pasangkayu, H. Kadir menyampaikan bahwa, 49 hektar yang di mohonkan PT Letawa untuk di terbitkan Hak Guna Usaha hanya ada 4,6 hektar yang masuk dalam HGU PT Letawa, selebihnya non HGU.
Semetara di lahan tersebut secara fisik yang di mohonkan tersebut ditemukan ada 100 persen tanaman pohon sawit, yang berdasarkan informasi di tanam oleh PT Letawa.
Yani Pepi yang mewakili masyarakat mengatakan, dasar permohonan pembuatan HGU itu, wajib memiliki Pelayanan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan izin lokasi.
Persyaratan PKKPR ini adalah penguasaan hak, apakah berbentuk sertifikat atau lainnya.
Semetara pihak dinas PUPR mengatakan bahwa areal yang di maksud bebas dari kawasan hutan, maka APL tidak bisa lagi digunakan untuk pelepasan hutang lindung.
Bahwa berdasarkan SK Kementerian Kehutanan tahun 1996, pelepasan kawasan hutan lindung PT Letawa hanya diberikan dalam jangka waktu 1 tahun.
Apabila Selama waktu 1 tahun tidak diterbitkan HGU nya, maka pelepasan kawasan hutang lindung kembali kepada negara.
“bida kita bayangkan, Pelepasan hutan lindung itu di tahun 1996, dan sekarang tahun 2024, maka pelepasan dari Kementrian Kehutanan tersebut tidak bisa lagi digunakan. Diatas lahan yang telah ditanami sawit yang tidak memiliki HGU,” .
Hingga berita ini diterbitkan pihak perusahaan belum dapat memberi keterangan. Saat rekan media mencoba mengkonfirmasi terkait konflik batas lahan tersebut, pihak PT Letawa enggan berkomentar. (RTV)
Perlu ada perhatian pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini. Harus ada keberpihakan kepada masyarakat